Surat 95 : AT-TIIN
Diturunkan di MAKKAH
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُون
1) Demi buah tiin, demi buah zaitun.
By the Fig and the Olive,
وَطُورِ سِينِينَ
2) Demi gunung Sinai.
And the Mount of Sinai,
وَهَذَا الْبَلَدِ الأَمِينِ
3) Demi negeri yang aman ini.
And this City of security
Dalam ayat yang pertama; "Demi buah tiin, demi buah zaitun." (ayat 1).
Terdapat
berbagai tafsiran. Menurut Mujahid dan Hasan, kedua buah-buahan itu
diambil jadi sumpah oleh Tuhan untuk diperhatikan. Buah TIIN diambil
sumpah karena dia buah yang terkenal untuk dimakan, buah ZAITUN karena
dia dapat ditempa dan diambil minyaknya. Kata Qatadah: Tiin adalah nama
sebuah bukit di Damaskus dan Zaitun nama pula dari sebuah bukit di
Baitul-Maqdis." Tandanya kedua negeri itu penting untuk diperhatikan.
Dan menurut sebuah riwayat pula, yang diterima dari Ibnu Abbas, "Tiin
adalah mesjid yang mula didirikan oleh Nuh di atas gunung al-Judi, dan
Zaitun adalah Baitul-Maqdis."
Banyak ahli tafsir cenderung
menyatakan bahwa kepentingan kedua buah-buahan itu sendirilah yang
menyebabkan keduanya diambil jadi sumpah. Buah Tiin adalah buah yang
lunak lembut, kemat, hampir berdekatan rasanya dengan buah serikaya yang
tumbuh di negeri kita dan banyak sekali tumbuh di Pulau Sumbawa. Zaitun
masyhur karena minyaknya.
Tetapi terdapat lagi tafsir yang lain
menyatakan bahwa buah Tiin dan Zaitun itu banyak sekali tumbuh di
Palestina. Di dekat Jerusalem pun ada sebuah bukit yang bemama Bukit
Zaitun, karena di sana memang banyak tumbuh pohon zaitun itu. Menurut
kepercayaan dari bukit itulah Nabi Isa Almasih mi'raj ke langit.
'Demi gunung Sinai.' (ayat 2).
Di
ayat ini disebut namanya Thurisinina, disebut juga Thursina, disebut
juga Sinai dan disebut juga Thur saja. Kita kenal sekarang dengan
sebutan Semenanjung Sinai.
"Demi negeri yang aman (ayat 3).
Negeri yang aman ini ialah Makkah, tempat ayat ini diturunkan. Sebab itu dikatakan "INI".
Berkata
Ibnu Katsir : Berkata setengah imam-imam : Inilah tiga tempat, yang di
masing-masing tempat itu Allah swt telah membangkitkan Nabi-nabi
utusanNya, Rasul-rasul yang terkemuka, mempunyai syariat yang
besar-besar. Pertama tempat yang di sana banyak tumbuh Tiin dan Zaitun.
Itulah Baitul-Maqdis. Di sanalah Tuhan mengutus Isa bin Maryam
'alaihis-salam.
Kedua : Thurisinina, yaitu Thurisina, tempat Allah swt bercakap-cakap dengan Musa bin 'Imran, 'alaihis-salam.
Ketiga
: Negeri yang aman, yaitu Makkah. Barangsiapa yang masuk ke sana,
terjaminlah keamanannya. Di sanalah diutus Tuhan RasulNya Muhammad
s.a.w.
Kata Ibnu Katsir selanjutnya: "Dan di dalam Taurat pun
telah disebut tempat yang tiga ini; 'Telah datang Allah swt dan
Thursina,' yaitu Allah swt telah bercakap-cakap dengan Musa. "Dan
memancar Dia dari Seir," yaitu sebuah di antara bukit-bukit di
Baitul-Maqdis, yang di sana Isa Almasih dibangkitkan. "Dan menyatakan
dirinya di Faran." Yaitu nama bukit-bukit Makkah, tempat Muhammad s.a.w.
diutus.
Maka disebutkan itu semuanya guna memberitakan adanya
Rasul-rasul itu sebab itu diambilNya sumpah berurutan yang mulia, yang
lebih mulia dan yang paling mulia."
Maka bersumpahlah Tuhan; Demi
buah tiin, demi buah zaitun. Demi Bukit Thurisinina, demi Negeri yang
aman Tuhan bersumpah dengan tiin dan zaitun, itulah lambang dari
pergunungan Jerusalem, Tanah Suci, yang di sana kedua buah-buahan itu
banyak tumbuh, dan di sana Almasih diutus Allah dengan Injilnya.
Dan
bersumpah pula Tuhan dengan Thursina, yaitu gunung tempat Tuhan
bercakap dengan Musa dan tempat Tuhan memanggil dia, di lembahnya yang
sebelah kanan, di tumpak tanah yang diberi berkat yang ber¬nama Thuwa,
di pohon kayu itu. Dan bersumpah pula Tuhan dengan Negeri yang aman
sentosa ini, yaitu negeri Makkah, di sanalah Ibrahim menempatkan
puteranya tertua Ismail bersama ibunya Hajar. Dan negeri itu pulalah
yang dijadikan Allah tanah haram yang aman sentosa. Sedang di luar
batasnya orang rampas-merampas, rampok-merampok, culik-menculik. Dan
dijadikanNya negeri itu aman dalam kejadian, aman dalam perintah Tuhan,
aman dalam takdir dan aman menurut syara'."
Seterusnya Ibnu
Taimiyah berkata: "Maka firman Tuhan "Demi buah tiin, demi buah zaitun.
Demi Bukit Thurisinina. Demi negeri yang aman ini," adalah sumpah
kemuliaan yang dianugerahkan Tuhan kepada ketiga tempat yang mulia lagi
agung, yang di sana sinar Allah dan petunjukNya dan di ketiga tempat itu
diturunkan ketiga kitabNya; Taurat, Injil dan al-Quran, sebagai¬mana
yang telah disebutkannya ketiganya itu dalam Taurat: "Datang Allah dari
Torsina, telah terbit di Seir dan gemerlapan cahayanya dari gunung
Paran." Sekedar itu kita salinkan dari lbnu Taimiyah.
Selanjutnya
ada pula penafsir-penafsir zaman sekarang sebagai disebutkan oleh
al-Qasimi di dalam tafsirnya berpendapat bahwa sumpah Allah dengan buah
tiin yang dimaksud ialah pohon Bodhi tempat bersemadinya Buddha Gaotama
ketika beliau mencari Hikmat Tertinggi. Buddha adalah pendiri dari agama
Buddha yang di kemudian harinya telah banyak berobah dari ajarannya
yang asli. Sebab ajarannya itu tidak ditulis pada zamannya melainkan
lama se-sudah matinya. Dia hanya diriwayatkan sebagai riwayat-riwayat
Hadis-hadis dalam kalangan kita Muslimin, dari mulut ke mulut Lama
kemudian baru ditulis, setelah pemeluk-pemeluknya bertambah maju.
Menurut
penafsir ini pendiri buddha itu nama kecilnya ialah Sakiamuni atau
Gaotama. Mula kebangkitannya ialah seketika dia berteduh bersemadi di
bawah pohon kayu Bodhi yang besar. Di waktu itulah turun wahyu
kepadanya, lalu dia diutus menjadi Rasul Allah. Syaitan berkali-kali
mencoba memperdayakannya, tetapi tidaklah telap. Pohon Bodhi itu menjadi
pohon yang suci pada kepercayaan penganut Buddha, yang mereka namai
juga Acapala.
Besar sekali kemungkinan bahwa penafsir yang
menafsirkan buah Tiin di dalam al-Quran itu dengan pohon bodhi tempat
Buddha bersemadi, belum mendalami benar-benar filsafat ajaran Buddha.
Menurut penyelidikan ahli-ahli, Buddha itu lebih banyak mengajarkan
filsafat menghadapi hidup ini, dan tidak membicarakan Ketuhanan. Lalu
pengikut Buddha yang datang di belakang memuaskan hati mereka dengan
menuhankan Buddha itu sendiri.
Tetapi seorang ulama Besar dari
Arabia dan Sudan, Syaikh Ahmad Soorkati yang telah mustautin di
Indonesia ini pernah pula menyatakan per¬kiraan beliau, kemungkinan
besar sekali bahwa yang dimaksud dengan se¬orang Rasul Allah yang
tersebut namanya dalam al-Quran Dzul-Kiflii: Itulah Buddha, Asal makna
dari Dzul-Kifli ialah yang empunya pengasuhan, atau yang ahli dalam
mengasuh. Mungkin mengasuh jiwa manusia. Maka Syaikh Ahmad Soorkati
menyatakan pendapat bahwa kalimat Kifli berdekatan dengan nama negeri
tempat Buddha dilahirkan, yaitu Kapilawastu.
Dan semuanya ini adalah penafsiran. Kebenarannya yang mutlak tetaplah pada Allah sendiri.
لَقَدْ خَلَقْنَا الإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
4) Sesungguhnya telah Kami cipta¬kan manusia itu atas sebaik-baik pendirian.
We have indeed created man in the best of moulds,
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ
5) Kemudian itu, Kami jatuhkan dia kepada serendah-rendah yang rendah.
Then do We abase him (to be) the lowest of the low,-
إِلاَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ
مَمْنُونٍ
6) Kecuali orang-orang yang ber¬iman dan beramal shalih, maka untuk mereka adalah ganjaran yang tiada putus-putus.
Except such as believe and do righteous deeds: For they shall have a reward unfailing.
فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّين
7) Maka apakah sesuatu yang akan mendustakan kamu tentang agama?
Then what can, after this, contradict thee, as to the judgment (to come)?
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ
8) Bukankah Allah itu yang paling adil di antara segala yang meng¬hukum?
Is not Allah the wisest of judges?
"Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia itu atas sebaik-baik pen-dirian." (ayat 4).
Ayat inilah permulaan dari apa yang telah Allah mulaikan lebih dahulu dengan sumpah.
Yaitu,
bahwasanya di antara makhluk Allah di atas permukaan bumi ini,
manusialah yang diciptakan oleh Allah dalam sebaik-baik bentuk; bentuk
lahir dan bentuk batin. Bentuk tubuh dan bentuk nyawa. Bentuk tubuhnya
melebihi keindahan bentuk tubuh hewan yang lain. tentang ukuran dirinya,
tentang manis air-mukanya, sehingga dinamai basyar, artinya wajah yang
mengandung gembira, sangat berbeda dengan binatang yang lain. Dan
manusia diberi pula akal, bukan semata-mata nafasnya yang turun naik.
Maka dengan perse-imbangan sebaik-baik tubuh dan pedoman pada akalnya
itu dapatlah dia hidup di permukaan bumi ini menjadi pengatur. Kemudian
itu Tuhan pun mengutus pula Rasul-rasul membawakan petunjuk bagaimana
caranya menjalani hidup ini supaya selamat.
"Kemudian itu, Kami jatuhkan dia kepada serendah-rendah yang rendah." (ayat 5).
Demikianlah
Allah mentakdirkan kejadian manusia itu. Sesudah lahir ke dunia, dengan
beransur tubuh menjadi kuat dan dapat berjalan, dan akal pun
berkembang, sampai dewasa, sampai di puncak kemegahan umur. Kemudian
itu beransur menurun badan tadi, beransurlah tua. Beransur badan lemah
dan fikiran mulai pula lemah, tenaga mulai berkurang, sehingga mulai
rontok gigi, rambut hitam berganti dengan uban, kulit yang tegang
menjadi kendor, telinga pun beransur kurang pendengarannya, dan mulailah
pelupa. Dan kalau umur itu masih panjang juga mulailah padam kekuatan
akal itu sama-sekali, sehingga kembali seperti kanak-kanak, sudah minta
belas kasihan anak dan cucu. Malahan ada yang sampai pikun tidak tahu
apa-apa lagi. Inilah yang dinamai أرذل العمر "Ardzalil-`umur"; tua
nyanyuk. Sehingga tersebut di dalam salah satu doa yang diajarkan Nabi
s.a.w. agar kita memohon juga kepada Tuhan jangan sampai dikembalikan
kepada umur sangat tua (Al-harami) dan pikun itu.
Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih." (pangkal ayat 6).
Menurut
tafsir dari Ibnu Jarir: "Beriman dan beramal shalih di waktu badan
masih muda dan sihat." "Maka untuk mereka adalah ganjaran yang tiada
putus-¬putus." (ujung ayat 6):
Doa yang diajarkan Nabi s.a.w. itu ialah:
اللهُمَّ
إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ البُخْلِ وَالكَسَلِ وَالهَرَمِ وَأَرْذَلِ
العُمُرِ وَعَذَابِ القَبْرِ وَفِتْنَةِ الدَّجَّالِ وَفِتْنَةِ المَحْيَا
وَالمَمَاتِ (رواه البخاري عن أنس بن مالك)
'Ya Tuhanku, aku
berlindung kepada Engkau daripada bakhil dan pemalas, dan tua dan
kembali pikun dan daripada siksa kubur dan fitnah Dajjal dan fitnah
hidup dan fitnah mati." (Riwayat Bukhara daripada Anas bin Malik)
Menurut keterangan Saiyidina Ali bin Abu Thalib kembali kepada umur tua renta ardzalil--'umur itu ialah tujuh lima tahun.
Di
dalam al-Quran umur tua renta ardzalil-'umur itu sampai bertemu dua
kali. Yaitu ayat 70 dari Surat an-Nahl (lebah) Surat 16 dan Surat
al-Haj, (22) ayat 5.
Ketika menafsirkan Ardzalil-'umur itu
terdapatlah satu tafsir dari Ibnu Abbas demikian bunyinya: "Asal saja
dia taat kepada Allah di masa-masa mudanya, meskipun dia telah tua
sehingga akalnya mulai tidak jalan lagi, namun buat dia masih tetap
dituliskan amal shalihnya sebagaimana di waktu mudanya itu jua, dan
tidaklah dia akan dianggap berdosa lagi atas perbuatan¬nya di waktu
akalnya tak ada lagi itu. Sebab dia adalah beriman. Dia adalah taat
kepada Allah di masa mudanya.''
Diriwayatkan juga dari lbnu Abbas dan lkrimah;
مَنْ جَمَعَ القُرْآنَ فَلاَ يُرْجَعُ إِلَى أَرْذَلِ العُمُرِ إِنْ شَاءَ اللهُ
"Barangsiapa yang mengumpulkan al-Quran tidaklah akan dikembalikan kepada ardzalil 'umur. Kepada tua pikun, Insya Allah!"
Tentang
ini penulis tafsir ini berpengalaman. 'Ammati (saudara perempuan
ayahku), Uaik Tuo Aisyah meninggal dalam usia 86 tahun. Sejak beberapa
tahun sebelum meninggal beliau telah pekak tuli, sehingga tidak
mendengar lagi apa yang kita bicarakan dekat beliau. Tetapi sejak masih
gadisnya beliau menuruti ajaran ayahnya, Tuanku Syaikh Amrullah yaitu
mewiridkan membaca al-Quran sekhatam-sekhatam.
Dan kalau tidak
ada kesempatan, namun Surat-surat Yaa-Siin, al-Waqi'ah, al-Kahfi,
al-Mulk dan beberapa Surat yang lain yang beliau hapal di luar kepada.
Dan Surat-surat itulah yang selalu beliau baca. Maka meskipun sudah tua
dan telinga sudah pekak, namun beliau tidak sampai pikun. Kerja beliau
sehari-hari hanya membaca al-Quran sehingga pekaknya tidak jadi
rintangan baginya.
Setelah dia sakit akan meninggal, mulutnya
masih berkomat-kamit membaca al-Quran. Dan beberapa jam lagi akan
menutup mata masih sempat dengan senyum dia berkata bahwa dia
mendengarkan suara-suara yang indah merdu membaca al-Quran. Lalu beliau
suruh anak¬ cucu yang mengelilingnya turut berdiam mendengarkan bacaan
itu. Padahal bacaan itu tidak didengar oleh mereka.
Dan beliau pun meninggal dalam senyum, barangkali dalam suasana men-dengar suara merdu membaca al-Quran.
Sebaliknya
ada juga saya dapati, terutama orang-orang perempuan yang telah tua,
yang kira-kira usianya telah mencapai 80 atau 90 tahun menjadi amat
pikun hilang sama sekali ingatannya, padahal di waktu mudanya dia pun
tidak pemah meninggalkan sembahyang lima waktu. Untuk mententeramkan
hati kita, saya salinkan di sini sebuah Hadis:
المَوْلُوْدُ
حَتَّى يَبْلُغَ الحِنْثَ مَا عَمِلَ مِنْ حَسَنَةٍ كُتِبَتْ لِوَالِدِهِ
أَوْ لِوَالِدَيْهِ وَمَا عَمِلَ مِنْ سَيِّئَةٍ لَمْ تُكْتَبْ عَلَيْهِ
وَلاَ عَلَى وَالِدَيْهِ . فَإِذَا بَلَغَ الحِنْثَ أَجْرَى اللهُ عَلَيْهِ
القَلَمَ أُمِرَ المَلَكَانِ اللَّذَانِ كَانَا مَعَهُ أَنْ يَحْفَظَا
وَأَنْ يُشَدِّدَا . فَإِذَا بَلَغَ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً فِيْ الإِسْلاَمِ
أَمَّنَهُ اللهُ مِ،َ البَلاَيَا الثَّلاَثِ : الجُنُوْنُ وَالجُذَامُ
وَالبَرَصُ . فَإِذَا بَلَغَ الخَمْسِيْنَ خَفَّفَ اللهُ حِسَابَهُ .
فَإِذَا بَلَغَ السِتِّيْنَ رَزَقَهُ اللهُ الإِنَابَةَ إِلَيْهِ بِمَا
يُحِبُّ . فَإِذَا بَلَغَ السَّبْعِيْنَ أَحَبَّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ .
فَإِذَا بَلَغَ الثَّمَانِيْنَ كَتَبَ اللهُ حَسَنَاتِهِ وَتَجَاوَزَ عَنْ
سَيِّئَاتِهِ . فَإِذَا بَلَغَ التِّسْعِيْنَ غَفَرَ اللهُ مَا تَقَدَّمَ
مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ وَشَفَّعَهُ فِيْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَكُتِبَ
أَمِيْنَ اللهِ وَكَانَ أَسِيْرَ اللهِ فِيْ أَرْضِهِ . فَإِذَا بَلَغَ
أَرْذَلَ العُمُرِ لِكَيْلاَ يَعْلَمَ بَعْدَ عِلْمٍ شَيْئًا كَتَبَ اللهُ
مِثْلَ مَا كَانَ يَعْمَلُ فِيْ صِحَّتِهِ مِنَ الخَيْرِ فَإِذَا عَمِلَ
سَيِّئَةً لَمْ تُكْتَبْ لَهُ (رواه أبو يعلى عن أنس بن مالك)
"Seorang
anak yang dilahirkan apabila telah mulai bertumbuh pengertian¬nya, jika
dia bekerja yang baik, ditulislah pahala untuk ayahnya atau kedua orang
tuanya. Dan jika dia berbuat salah, tidaklah ditulis untuk dirinya dan
tidak untuk orang tuanya. Apabila dia telah berkesadaran, mulailah
berjalan Qalam Tuhan, diperintah Tuhan dua malaikat yang selalu
menyertainya agar anak itu dijaga baik-baik dan diawasi.
Apabila
telah mencapai empat puluh tahun dalam Islam, diamankan Allahlah dia
daripada bala bencana yang tiga macam; (1) gila, (2) penyakit kusta, (3)
penyakit balak. Apabila dia telah men¬capai lima puluh tahun,
diringankan Allahlah hisab (perhitungannya). Apabila telah mencapai enam
puluh tahun diberi Allahlah dia kesukaan kembali ke¬pada Allah (Inabah)
dengan amalan-amalan yang disukai Allah. Apabila dia telah mencapai
tujuh puluh tahun, jatuh cintalah kepadanya seluruh isi langit. Apabila
dia telah mencapai delapan puluh tahun, dituliskan Allahlah segala
kebaikannya dan dilampaui Tuhan saja kesalahan-kesalahannya. Apabila dia
telah mencapai sembilan puluh tahun diampuni Allahlah dosa-dosanya,
yang terdahulu dan yang terkemudian, dan menjadi syafa'atlah dia pada
kalangan ahli rumahnya dan ditulislah dia sebagai Aminullah (Kepercayaan
Allah) dan adalah dia tawanan Allah di muka bumiNya. Apabila dia telah
mencapai ardzalil-'umur (Usia sangat lanjut), sehingga dia tidak
mengetahui apa-apa lagi sesudah begitu cerdas dahulunya, akan dituliskan
Allah tentang dirinya yang baik-baik saja, sebagaimana yang
diamalkannya di waktu sihatnya dahulu, dan kalau dia berbuat salah,
tidaklah dituliskan apa-apa."(Riwayat Abu Ya'ala dari Hadis Anas bin
Malik)
Maka terpulanglah kepada Tuhan Allah sendiri, berapa umur
yang akan Dia berikan kepada kita; entah mati muda atau sampai mencapai
usia lanjut, asal kita sendiri mematuhi perintah-perintah Allah sejak
masih muda remaja, sehingga tetap menjadi modal hidup di hari tua. Dan
kita pun tetap memohon jangan kiranya kita sampai jadi tua pikun yang
sampai rnemberati kepada anak -cucu. Amin.
"Maka apakah sesuatu yang akan mendustakan kamu tentang agama?" (ayat 7).
Artinya:
Kalau sudah demikian halnya, yaitu bahwa Allah telah mencipta¬kan
engkau, hai Insan demikian rupa, dalam bentuk yang sebaik-baiknya dan
setelah lanjut umur kamu akan jatuh menjadi serendah-rendahnya kalau
tidak ada pendidikan dan asuhan beragama semenjak kecil, apa lagikah
alasan bagi kamu akan mendustakan agama? Bukankah ajaran agama itu yang
akan mem-berikan pegangan bagi kamu menempuh hidup ini, sejak mudamu
sampai kepada hari tuamu? Bagaimanalah jadinya nasib kamu menempuh hidup
ini kalau kamu tidak hidup beragama? Dan kalaupun ada, tetapi tidak
kamu pegang dengan baik?
"Bukankah Allah itu yang paling adil di antara segala yang menghukum?" (ayat 8).
Kalau
seseorang yang setia memegang ajaran agama untuk pedoman hidupnya, lalu
hidupnya selamat sampai hari tuanya, bukankah itu suatu akibat yang
adil dari hukum kebijaksanaan Ilahi? Dan kalau seseorang sebelum tua
sudah kehilangan pedoman, dan setelah tua menjadi orang tua yang jadi
beban berat kepada anak-cucu karena jiwa kosong dari pegangan, putus
hubungan dengan alam, bukankah itu pun satu keputusan yang adil dari
Allah?
Itu pun masih saja di dunia. Bagaimana kalau kemelaratan,
kehancuran hidup sampai rendah serendah-rendahnya di dunia dan di
akhirat. Melarat masuk neraka, tidakkah semuanya itu akibat yang wajar
jua dari orang yang tidak mau memperdulikan petunjuk yang telah
disampaikan Allah dengan perantaraan Nabi-nabi?
Maka segala
petunjuk yang dibawa oleh Nabi-nabi, baik yang dilambang¬kan oleh buah
tin dan zaitun yang tumbuh di pergunungan Jarusalem (Palestina) yang
berupa kitab Injil, atau yang diturunkan di Jabal Thursina di
Semenanjung Sinai, tempat Taurat diberikan kepada Musa, atau kitab
penutup yang dibawa oleh Khatimul Anbiya' wal Mursalin, al-Quran yang
dibawa Muhammad, yang mula diturunkan di negeri yang aman, Makkah
al-Mukarramah, semuanya itu adalah satu maksudnya, yaitu Addin; Agama
untuk muslihat hidup manusia sejak datang ke dunia ini sampai pulangnya
ke, akhirat esok.
Maka tersebutlah dalam sebuah Hadis dirawikan
Termidzi dari Abu Hurairah, Nabi menganjurkan bila Imam sampai pada
penutup ayat ini, pada sembahyang jahar, (Alaisallaahu bi ahkamil
Haakimiin), kita ma'mun sunnat membaca:
بَلَى ! وَأَنَأ عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ
"Benar itu! Dan aku sendiri atas yang demikian itu turut menyaksikan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar